Kamis, 24 Juli 2014

ANALISIS MEDIA PEMBELAJARAN JENIS LEAFLET

Trimakasi sebelum nya untuk temanku Dinda (Dini indah Lestari) NIM : 13/352785/PKU/13661 untuk memberikan contoh  tulisan nya , semoga bermanfaat untuk kita semua dan menjadi bahan untuk menambah ilmu pengetahuan kita,,,,

Media pembelajaran adalah salah satu sarana yang dapat digunakan dalam membantu sasaran untuk dapat memahami informasi dan edukasi yang diberikan salah satunya dalam pendidikan kesehatan. Pemilihan media yang tepat menjadi salah satu kunci untuk tercapainya tujuan pendidikan kesehatan. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media adalah menentukan sasaran dan karakteristik sasaran, analisis kebutuhan sasaran, menentukan perubahan perilaku yang diharapkan, serta memperhatikan konten materi yang perlu disajikan agar sesuai dengan perubahan perilaku yang diharapkan (Susilana, 2009).
Salah satu pendidikan kesehatan yang diberikan oleh Kementrian Kesehatan kepada remaja adalah adanya informasi yang komprehensif mengenai HIV & AIDS. Berdasarakan data Riskesdas 2010, diketahui bahwa hanya sebesar 11,4% remaja usia 15-24 tahun yang memiliki informasi yang lengkap dan komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Oleh sebab itu Kementrian Kesehatan menyusun sebuah program yang diberi nama “Aku Bangga Aku Tahu” untuk memberikan informasi yang komprehensif bagi kalangan remaja. Ada beberapa media pembelajaran yang dipilih untuk diberikan kepada kelompok remaja, antara lain penyuluhan dan pemberian leaflet. Namun dalam tulisan ini hanya akan membahas mengenai leaflet dari program tersebut.
Pada dasarnya leaflet adalah bentuk penyampaian informasi melalui lembarang yang dilipat-lipat sedemikian rupa yang berisi kalimat, gambar, maupun kombinasi dari keduanya yang salah satu fungsinya adalah memberikan edukasi di dalamnya (Saefudin & Setiawan, 2006). Berikut adalah analisis leaflet “Aku Bangga Aku Tahu” menurut kriteria leaflet yang baik :
1.    Kelebihan
a.       Kesesuaian dengan tujuan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardiningsih, 2011 mengemukakan bahwa remaja yang diberikan intervensi melalui leaflet mendapatkan informasi yang lebih baik dalam rangka pencegahan HIV&AIDS. Hal ini menunjukkan bahwa leaflet adalah salah satu metode yang tepat diberikan untuk remaja dalam hal meningkatkan pengetahuan dan perubahan sikap. Karena dalam hal melakukan penilaian terhadap media, kesesuaian dengan tujuan dan sasaran merupakan poin penting (Susilana, 2009). Sehingga dapat disimpulkan bahwa leaflet yang diproduksi oleh Kementrian Kesehatan telah memiliki kesesuaian dengan tujuan program. Hal ini juga dapat dilihat dalam leaflet dimana media ini memberikan  informasi yang lengkap dan komprehensif mengenai HIV & AIDS yang terdiri dari alasan untuk mengetahui HIV, penjelasan HIV & AIDS serta perbedaannya, cara penularan HIV, cara kerja HIV dalam tubuh manusia, serta tentang narkotika.

b.      Kesesuaian dengan sasaran
Bentuk dan warna yang diberikan juga telah disesuaikan dengan kelompok sasaran yaitu remaja. Adanya beberapa warna di setiap bagian memberikan efek segar dan mengurangi kebosanan dalam membaca serta dapat digunakan untuk menarik perhatian (Hagijanto, 2001). Selain itu bentuknya yang dapat dilipat sampai seukuran saku baju sekolah juga memberikan nilai tambah bagi leaflet ini. Hal ini dikarenakan remaja menyukai sesuatu yang simpel serta memberikan kemungkinan yang cukup besar untuk menarik perhatian dengan ukuran media yang kecil dan warna yang mencolok.
c.       Headline
Headline juga menjadi salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam penyusunan media cetak karena pembaca akan diarahkan sesuai dengan tujuan dari materi yang akan disampaikan. Headline yang baik haruslah berisi sedikit data, bermakna tajam, lugas, serta memberikan pengertian utuh (Hagijanto, 2001). Leaflet “Aku Bangga Aku Tahu” memiliki beberapa headline yang dipisahkan dengan kotak untuk masing-masing headline. Hal ini baik agar remaja tidak mengalami kesulitan dan kerancuan dari beberapa headline yang muncul dalam leaflet. Selain itu headline juga sudah ditulis dengan kalimat yang singkat, lugas, serta sesuai dengan isi pesan yang disampaikan. Ukuran font juga telah dibesarkan agar menjadi pembaca dapat dengan cepat menebak isi pesan yang akan diberikan. Penulisan nomor di samping headline juga memberikan alur yang jelas sehingga remaja akan membaca dengan alur yang diinginkan oleh Kementrian Kesehatan.
2.    Kekurangan
a.       Isi Pesan
-          Berdasarkan kerucut Elgar Dale (Maulana, 2007) tulisan menempati posisi kedua tertinggi dari kerucut. Hal ini mengartikan bahwa tulisan memberikan intensitas yang lemah sehingga penyampaian materi akan kurang efektif apabila tidak digabungkan dengan media yang lain. Pesan yang diberikan di dalam leaflet cukup padat sehingga ukuran font menjadi lebih kecil. Ukuran font yang kecil akan mengakibatkan keengganan remaja untuk membaca lebih lanjut. Selain itu remaja juga akan lebih susah mengingat informasi yang diberikan.  
-          Adanya isi pesan yang kurang fokus terhadap poin kunci yang diharapkan dari leaflet juga memberikan nilai minus dari media ini. Poin kunci dalam leaflet adalah “no narkoba” dan “no seks beresiko”. Namun dalam leaflet tidak disampaikan bagaimana cara untuk menghindari seks beresiko dan narkoba itu sendiri.
-          Dalam menyusun pesan hendaknya juga memperhatikan penulisan istilah. Pesan yang menjelaskan headline sebaiknya dirancang sedemikian rupa serta ada konsistensi agar memuat pesan yang tidak membingungkan dan bermakna ganda (Hagijanto, 2001). Pada leaflet “Aku Bangga Aku Tahu” ditemukan dua istilah yang ditulis dengan makna yang dianggap sama namun sejatinya memiliki makna yang berbeda, yaitu “seks beresiko” dan “seks bebas”. Namun dalam pesan tidak disampaikan penjelasan yang tepat untuk makna yang muncul tersebut. Seks beresiko memiliki makna hubungan seksual bergonta ganti pasangan tanpa menggunakan pengaman (kondom) baik yang dilakukan baik sesudah nikah maupun sebelum nikah. Namun seks bebas dimaknai hubungan seksual sebelum menikah baik menggunakan pengaman maupun tidak. Hal ini akan menimbulkan kebingungan bagi remaja mengenai hubungan seksual beresiko itu sendiri. Sehingga akan memunculkan masalah baru yaitu adanya stigma negatif bagi remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum nikah dan mengidap HIV positif.
-          Alur istilah yang tidak sesuai dengan alur pesan juga menjadi kekurangan dalam leaflet ini. Dalam poin untuk 3 telah menyebutkan istilah “ODHA” namun penjelasan ODHA sendiri berada poin nomor 6, begitu juga untuk istilah “CD4” yang telah tercantum pada poin 3 namun penjelasan diberikan pada poin 5.
-          Tidak adanya kontak lain yang dapat diakses apabila remaja ingin memperoleh informasi lebih lanjut tekait pesan
3.       Saran
a.       Informasi yang edukatif sangat disarankan dan didorong untuk selalu diberikan kepada remaja, namun akan lebih baik apabila media cetak yang diberikan tidak terlalu banyak mengandung unsur kata-kata serta menambah unsur gambar agar pesan mudah dicerna dan mudah diingat
b.      Istilah diharapkan untuk konsisten mulai dari awal pesan sampai pesan berakhir agar tidak menimbulkan makna ganda dan kebingungan bagi pembaca
c.       Adanya kesesuaian antara pesan kunci dan pesan yang disampaikan di dalam leaflet agar remaja ataupun pembaca lainnya dapat menemukan kesesuaian dan pesan akan menjadi lebih efektif.
d.      Leaflet adalah media yang menyasar ke banyak orang, maka leaflet juga menjadi media yang tepat untuk mempromosikan suatu media lainnya. Sehingga akan lebih baik apabila dalam leaflet ini mencantumkan kontak ataupun media lain yang dapat diakses oleh remaja untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai HIV & AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Hagijanto, A. D. (2001). MENCIPTAKAN BRAND AWARENESS IKLAN MEDIA MASSA CETAK. Nirmana, 3 no.1, 17–31.
Hardiningsih. (2011). Perbedaan Pendidikan Kesehatan dengan Ceramah dan Leaflet Terhadap Pengetahuan dan Sikap dalam Rangka Pencegahan HIV AIDS pada Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Surakarta, 1–10.
Maulana, H. D. J. (2007). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Saefudin, & Setiawan. (2006). Teknik Pembuatan Leaflet Untuk Kegiatan Marketing. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, 546–552.
Susilana, R. (2009). MEDIA PEMBELAJARAN: Hakikat,Pengembangan,Pemanfaatan,dan Penilaian. Bandung: CV WACANA PRIMA.
























KEBIJAKAN PENYEDIAAN FASILITAS UMUM BAGI PENYANDANG DIFABEL

OLEH : RAHMA TRISNANINGSIH
NIM : 13/357202/PKU/14087

Menjadi difable (penyandang cacat) ditengah masyarakat yang menganut paham normalisme atau pemuja kenormalan, tentu menghambat ruang gerak para difable (penyandang cacat) karena semua sarana umum didesain khusus untuk orang yang bukan penyandang cacat, sehingga tidak ada fasilitas bagi difable (penyandang cacat). Kurang dihargai dalam bermasyarakat adalah sesuatu yang sering terjadi pada lingkungan difable (penyandang cacat). Pusat rehabilitasi yang diciptakan pun menjadikan mereka seolah difable (penyandang cacat) berbeda dengan orang lain.
Aksesibilitas bagi difable (penyandang cacat) dititikberatkan pada ketersediaan dan kelayakan fasilitas yang ramah difable (penyandang cacat), dimana perencana adalah subjek perancang yang bertanggung jawab terhadap aksesibilitas difable (penyandang cacat) sebagai warga Negara yang juga memiliki hak yang sama dengan warga Negara lain. (RAHAYU SUGI, UTAMI DEWI, 2014)
Jumlah difabel di Indonesia pada tahun 2007 diprediksi sekitar 7,8 juta jiwa (Suharto, Edi, 2010). Sebuah angka yang sebenarnya relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah sekitar 220 juta jiwa. Walaupun demikian selayaknya semangat pelayanan tidak dipengaruhi jumlah besar atau kecilnya pengguna layanan. Para difabel juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan warga negara lainnya. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang cukup kepada para difabel tersebut. Termasuk dalam hal aksesibilitas pelayanan publik. (UGM, 2012)

Tabel 1. Komunitas kebijakan dari kubu pendukung, netral dan penentang
Pro (pendukung)
Netral
Kontra (penentang

Penyandang difabel
Dinas pendidikan
Dinas kesehatan
LSM PEDULI DIFABEL
DINAS PU
BIROKRAT
Dinas perhubungan
Dinas sosial dan tenaga kerja
 














































PEMDA
DPR/ DPRD

BAGIAN KEUANGAN/DEPARTEMEN KEUANGAN
MASYARAKAT/ SDM

CATATAN : Istilah difabel berasal dari bahasa Inggris dengan asal kata different ability, yang bermakna manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negative dan terkesan diskriminatif. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan ataupun ke’abnormal’an.
TABEL 2. Pendukung, sikap netral dan penentang penyediaan fasilitas bagi kaum difabel
No
STAKEHOLDER
STATUS
KEPENTINGAN
1
PENYANDANG DIFABEL
PRO
Mendapat kenyaman yang sama dengan masyarakat dengan kondisi normal
2
DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA
PRO
Program pemberdayaan keluarga difabel, pemberian alat bantu bagi kaum difabel
Pembinaan angkatan kerja khusus dimana didalam nya terdapat penyandang difabel
3
DINAS PENDIDIKAN
PRO
Sekolah model inklusi yaitu memberikan akses yang sama dalam pendidikan sehingga adanya interaksi sosial antara masyarakat dan penyandang difabel
4
DINAS PERHUBUNGAN
PRO
Membuat sarana transportasi mudah diakses bagi penyandang difabel
5
DINAS KESEHATAN
PRO
Memberikan jaminan kesehatan bagi penyandang difabel
6
DINAS PU
PRO
Membuat sara dan prasarana khusus bagi penyandang difabel
7
LSM PENDUKUNG DIFABEL
PRO
Menyadari pentingnya sarana umum bagi difabel, memberikan kegiatan bagi penyandang difabel
8
DPR/ DPRD
NETRAL
Membuat peraturan dan perundang undangan tentang difabel
9
PEMDA
NETRAL
Belum bagitu memahami tentang masyarakat difabel
10
MASYARAKAT/ SDM
KONTRA
Kurang nya relawan yang membantu kegiatan penyandang difabel
11
BAGIAN KEUANGAN/ DEPARTEMEN KEUANGAN
KONTRA
Selama ini anggaran yang dikhususkan dalam memenuhi kebutuhan difabel kurang mencukupi sehingga implementasi pelayanan kepada mereka kurang optimal
12
BIROKRAT
KONTRA
berpandangan bahwa urusan difabel bukanlah masalah yang penting dan mendesak.

Tabel 3. Kekuatan pendukung, penentang dan netral
No
STAKEHOLDER
pro
netral
kontra
1
PENYANDANG DIFABEL
5


2
DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA
4


3
DINAS PENDIDIKAN
4


4
DINAS PERHUBUNGAN
4


5
DINAS KESEHATAN
4


6
DINAS PU
4


7
LSM PENDUKUNG DIFABEL
4


8
DPR/ DPRD

3

9
PEMDA

3

10
MASYARAKAT/ SDM


4
11
BAGIAN KEUANGAN/ DEPARTEMEN KEUANGAN


4
12
BIROKRAT


4

Jumlah
29
6
12

Keterangan skor 1= sangat kecil, 2=kecil, 3=sedang, 4=besar , 5= sangat besar
Meskipun skor pendukung lebih besar dari pada skor penentang dan netral tetapi kerjasama lintas sektoral antar pendukung belum berjalan dengan baik, Aksesibel masih merupakan isu utama dalam gerakan difabel di Indonesia.  Aksesibilitas fasilitas umum memang merupakan kebutuhan utama dari para difabel untuk dapat mengaktualisasikan diri dan sekaligus berpartisipasi penuh dalam aktifitas bermasyarakat. Ketiadaan fasilitas umum yang aksesibel bagi para difabel ini telah menyebabkan eksklusifitas bagi para difabel di lingkungan masyarakatnya. (ANONIM, 1997)
ANONIM. (1997). JURNAL PENYANDANG DIFABEL, 1–17.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014
RAHAYU SUGI, UTAMI DEWI, M. A. (2014). PELAYANAN PUBLLIK BIDANG TRANSPORTASI BAGI KAUM DIFABEL.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014

UGM, A. (2012). ringkasan pelayanan publik bagi difabel, (25), 1–19.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014